Liputanmadura.com (Sampang) – Syamsiyah, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Sampang, menjalani sidang perdana kasus dugaan penipuan dan penggelapan jual beli tanah di Pengadilan Negeri (PN) Sampang, yang dipimpin Majelis Hakim Fatchur Rohman, SH selaku Ketua didampingi dua anggota yakni Adji Prakoso SH., MH dan Hendra Cordova Masutra. SH,. MH. Kamis (10/2).
Sebelum sidang, Syamsiyah telah ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIB Sampang sejak Selasa (8/7) setelah sebelumnya hanya menjalani tahanan kota.
Jaksa penuntut umum (JPU) Indah Asry mengatakan kasus ini bermula dari laporan Nur Muhammad Hidayatullah selaku putra pelapor Rindawati yang merasa dirugikan atas transaksi jual beli tanah yang diduga melibatkan Syamsiyah.
“Rindawati selaku korban Penipuan jual beli tanah dan bangunan ini hingga merugi senilai senilai Rp. 650.000,- (enam ratus juta) menjumpai berbagai kejanggalan terutama sejak saat tahap penyidikan oleh Unit PPA Satreskrim Polres Sampang, ” terangnya.
Sementara Kuasa hukum Samsia Bahri, menekankan kondisi ekonomi keluarga yang sangat bergantung pada Samsia sebagai tulang punggung keluarga. Dakwaan yang dilayangkan adalah Pasal 378 KUHP (penipuan) dengan ancaman empat tahun penjara, atau subsidair Pasal 372 KUHP (penggelapan). S
Selain itu, kuasa hukum juga mempertanyakan prosedur penahanan Samsia, yang baru menerima informasi penangguhan penahanan sehari sebelum tahap dua, meskipun penahanan kota telah berlaku sejak 23 Juni.
“Mereka berharap hakim mempertimbangkan aspek kemanusiaan dalam proses persidangan, ” ucapnya.
Mereka berpendapat kasus ini murni perdata, bukan pidana, karena berawal dari transaksi jual beli yang memiliki permasalahan dalam hal pelunasan dan perjanjian.
“Kuasa hukum menilai terdapat cacat prosedur dalam proses penyelidikan dan penyidikan, serta adanya pihak ketiga yang terlibat dalam transaksi tersebut, ” tegasnya .
Mereka menekankan bahwa transaksi jual beli tanah tersebut telah memiliki kesepakatan awal, termasuk pembayaran uang muka (DP) Rp70 juta, dan proses pendaftaran sertifikat tanah tengah berjalan. Akta hibah yang diberikan sebagai jaminan, menurut kuasa hukum, bukan sebagai bukti pelunasan. Tim kuasa hukum juga mempersoalkan penerapan pasal 372 dan 378 KUHP, dan meminta agar kasus ini diselesaikan melalui jalur perdata.(Md).