Spread the love

Liputanmadura.com (Riau) – Catatan Hukum: Armilis Ramaini, S.H. Hakim adalah mata rantai terlemah dalam sistem peradilan kita, dan mereka juga yang paling terlindungi. (Alan Dershowitz_Pengacara dari Amerika).

SAYA bersyukur, ketika dipercaya sebagai Kuasa Hukum 200-an petani sawit di Siak Hulu, Kampar, Riau, beberapa waktu silam.

Dengan pendampingan para petani ini, setidaknya, saya bisa secara rill, melihat banyak realita, trik, intrik serta ironisme, saat sekelompok petani berhadapan dengan pihak kapitalis di pengadilan.

Prosesi persidangan sarat rekayasa dan dipaksakan. Pada akhirnya, memberi saya kesimpulan: “Inilah Potret Buram Penegakan Hukum”.

Kala itu, petani yang tergabung di bawah naungan Koperasi Produsen Petani Sawit Mandiri (KOPPSA-M) ini, tengah menghadapi masalah hukum sangat serius: Digugat “Bapak Angkat” mereka_PTPN IV ke Pengadilan Negeri Bangkinang.

Perusahaan “Plat Merah”_ yang seyogianya menjadi penjamin hadirnya kesejahteraan bagi ratusan KK petani lewat harapan hamparan sekitar 1800 hektare kebun sawit_malah menggugat mereka ke pengadilan.

Gugatan itu, pun tidak tanggung-tanggung. Petani mesti bertanggung jawab atas Rp 140 miliar, tunggakan dana kredit (talangan) di Bank Mandiri.

Padahal, proses pengajuan dan pencairan dana itu dulunya, tanpa sepengetahuan, apalagi persetujuan petani, selaku anggota koperasi.

Atas dasar itulah kemudian, petani menduga, semua dokumen untuk kepentingan, pengajuan kredit, berkedok pembangunan kebun sawit untuk petani itu, justru dipalsukan oknum-oknum

yang berkepentingan dengan dana itu.

Lain “trik kotor” soal kredit. Lain pula intrik di lapangan. Pekerjaan kebun, mulai dari proses pra-tanam sampai ke perawatan, sungguh jauh dari standar kelayakan. Semua dikerjakan asal-asalan.

Artinya, pihak PTPN sebagai pihak yang mesti menjadi penjamin atas keberhasilan kebun ini, dari awal terlihat “lepas” tanggung jawab.

Semua trik kelicikan PTPN lewat pekerjaan asal-asalan ini, terungkap dari pengakuan para petani dan para pekerja yang sudah terlibat sejak tahap awal proses pekerjaan kebun sawit ini.

Deskripsi kebun yang gagal adalah imbas dari semua proses yang tidak matang itu. Di lokasi, saya prihatin melihat kondisi kebun sawit petani, yang jauh dari harapan dan janji-janji PTPN dulu.

Konsekuensi logis dari kebun yang gagal, tentulah minimnya hasil produksi kebun demi menyanggah kebutuhan petani, plus membayar kredit dana talangan di bank itu tadi.

Tetapi bukankah PTPN yang harus bertanggung jawab atas tunggakan dana talangan tersebut, mengingat mereka sebagai penjamin. Toh, petani juga tidak pernah tahu-menahu dengan pinjaman itu?

Di tengah keriuhan antara kebun yang gagal dan kredit yang macet itulah, tiba-tiba PTPN “menyeret” semua petani yang nota bene “Anak Angkat”-nya ke pengadilan.

PTPN menggugat semua petani_termasuk yang sudah meninggal_ke Pengadilan Negeri (PN) Bangkinang. Masalah makin pelik. Makin menarik. Terus terang, saya, makin tertantang.

Bayangkan, dalam gugatannya, PTPN meminta PN Bangkinang untuk memerintahkan semua petani bertanggung jawab atas tunggakan dana Rp 140 miliar itu dan menyita semua kebun petani, meskipun kebun itu tidak jadi barang agunan untuk kredit itu.

Enak betul, ya! Setelah dana diperoleh PTPN dengan dokumen palsu, kebun petani ditelantarkan. Malah, PTPN meminta pengadilan membebankan hutang kepada petani. Kalau petani tidak bisa bayar, sita saja kebunnya.

Ketika Hakim “Berpihak”.

Tiba masa persidangan. Awalnya, saya lihat adem-adem aja. Tetapi, tiba di masa sidang lapangan (Pemeriksaan Setempat) karakter hakim, istimewanya, Soni Nugraha, selaku ketua majelis hakim, mulai terbaca

Sikapnya, yang berat sebelah (berat ke penggugat-tentunya) begitu kentara saat membatasi pihak tergugat untuk melihat fakta di lapangan. Dia berdalih, yang diajukan tidak berkorelasi dengan materi pokok gugatan.

Padahal, gugatan itu tentang pembayaran kredit dana talangan yang macet. Sedangkan, penyebab kemacetan itu karena kebun petani tidak berproduksi maksimal. Sehingga, petani tidak bisa membayar ansuran kredit. Kok, tidak punya korelasi?

Dari pembatasan di PS ini, tahapan-tahapan berikutnya semakin “miring”. Puncak keberpihakan itu, terlihat pada sidang pemeriksaan para saksi.

Dari sekian banyak saksi dari kami sebagai tergugat, majelis hanya memberi dua kali kesempatan untuk bersaksi. Benar-benar parah. Intinya, sikap majelis yang ingin memenangkan penggugat, semakin terang-benderang.

Ironisnya, keterangan dua daksi ahli yang nyata-nyata menguatkan argumen kami selaku tergugat, sama sekali diabaikan majelis dalam putusannya.

Pengabaian atas keterangan saksi ahli itulah kemudian yang membuat majelis memberi kemenangan mutlak pada penggugat:

Memerintahkan petani membayar dana talangan Rp 140 miliar serta perintah sita jaminan dan sita eksekusi terhadap kebun petani. Itulah yang diminta penggugat.

Itulah yang dikabulkan majelis dalam putusan dengan nomor 75/Pdt.G/2024/PN.Bkn, Rabu 28 mei silam. Luar biasa.

Kami sebagai tergugat yang dikalahkan, tentu harus menghormati putusan pengadilan. Tetap menggunakan hak kami untuk menggunakan upaya hukum (banding).

Harapan kami, tidak ingin prosesi peradilan berat sebelah seperti memakan korban lagi di masa mendatang. Lembaga peradilan, hendaknya tidak lagi, dijadikan sebagai institusi untuk melegalkan “penindasan” dengan kedok legitimasi putusan peradilan.

Bagi saya sebagai seorang praktisi hukum yang nyaris 40 tahun berdiri teguh di barisan masyarakat tertindas cukuplah ini bukti empirisme baru: Potret Buram Penegakan Hukum.