Senja itu datang dengan hangatnya, menyelubungi Taman Trunojoyo dengan semburat jingga yang lembut. Cahaya matahari yang mulai turun perlahan membias di antara dedaunan pohon dan bunga-bunga yang bersemi indah di sudut-sudut taman. Udara sore berhembus lembut, menyentuh kulit dengan rasa nyaman yang sukar dijelaskan.
Dinda duduk di bangku kayu yang terletak tak jauh dari air mancur taman, jantungnya berdegup tak karuan. Sudah lima tahun berlalu sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di Sampang, kabupaten yang menyimpan begitu banyak kenangan masa kecilnya. Taman ini, Taman Trunojoyo, adalah tempat ia dan Raka selalu bermain saat kecil. Di sinilah mereka menghabiskan waktu sepulang sekolah, berlarian di rerumputan, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, dan tertawa bersama hingga senja tiba.
Namun waktu berlalu. Setelah SMA, Dinda pergi meninggalkan Sampang untuk melanjutkan kuliah di kota besar. Selama bertahun-tahun, ia jarang kembali. Tugas, karir, dan kehidupan baru di kota membuatnya seakan menjauh dari kenangan-kenangan masa kecilnya. Tapi surat yang diterimanya sepekan lalu membawanya kembali.
“Temui aku di Taman Trunojoyo, kala senja,” begitu pesan singkat dari Raka yang membuatnya memutuskan untuk kembali, hanya untuk mencari tahu apakah perasaan yang dulu sempat tertinggal masih tersimpan di antara mereka.
Dinda menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Matanya menyapu taman yang mulai dipenuhi orang-orang yang berjalan santai, anak-anak yang bermain bola, dan pasangan-pasangan yang duduk di bangku seperti dirinya. Di kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing sedang berjalan perlahan mendekat.
Raka.
Rambutnya sedikit lebih panjang dari yang ia ingat, tapi senyum lembut di wajahnya tetap sama. Raka berjalan mendekat, menghampirinya dengan langkah yang tenang, dan duduk di sebelahnya. Mereka saling diam untuk beberapa saat, hanya membiarkan suasana sore dan suara gemericik air mancur mengisi kekosongan kata.
“Aku kira kau tidak akan datang,” Raka akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar serak, namun hangat.
Dinda tersenyum tipis. “Aku hampir saja tidak datang, tapi… entah kenapa, aku merasa harus.”
Raka menatapnya sejenak, seolah ingin mencari jawaban di balik mata Dinda yang cerah. “Kau tahu,” katanya perlahan, “Taman ini tak pernah berubah. Tapi kita… kita sudah jauh berbeda.”
Dinda mengangguk pelan. Ia menyadari bahwa mereka bukan lagi anak-anak yang bebas berlarian tanpa beban. Hidup telah membawa mereka ke jalan masing-masing, membentuk siapa mereka saat ini. Namun, ada sesuatu tentang taman ini, tentang senja yang hangat ini, yang membuat segala sesuatu terasa seperti dulu lagi.
“Aku selalu berpikir… kalau saja kita punya lebih banyak waktu bersama sebelum kau pergi,” ujar Raka, suaranya sedikit bergetar. “Mungkin segalanya akan berbeda.”
Dinda menghela napas panjang. Ia tahu persis apa yang Raka maksud. Saat mereka masih remaja, perasaan itu memang ada, tapi tak pernah diucapkan. Mereka terlalu takut merusak persahabatan yang sudah terjalin begitu erat.
“Tapi waktu tidak bisa diputar kembali,” jawab Dinda akhirnya. “Kita hanya bisa menerima apa yang sudah terjadi, dan mungkin… mencoba memulai dari awal?”
Raka tersenyum. Senyum yang sama, seperti saat mereka bersembunyi di balik pohon-pohon taman ini, seolah tak pernah ada yang berubah.
“Kau benar,” katanya lembut. “Mungkin kita bisa memulai lagi, kali ini tanpa ada yang kita sembunyikan.”
Senja di Taman Trunojoyo semakin temaram, namun bagi Dinda dan Raka, ada harapan baru yang perlahan muncul di hati mereka. Di tempat ini, di bawah langit senja yang hangat, mereka berdua siap menapaki jalan baru, bersama.
Tamat.