Liputanmadura.com (PEKANBARU) – Jika seorang wartawan memahami kewenangan yang diberikan undang undang kepadanya, dia pasti memiliki: keberanian dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
“Makanya, saya sangat mengapresiasi Nasdem Riau, yang menyelenggarakan acara ini,” kata Direktur Utama, Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC) Drs.Wahyudi El Panggabean, M.H., MT.BNSP., C.PCT,” Sabtu 27 September 2025
Tampil sebagai salah seorang pembicara pada acara Pendidikan Politik & Pelatihan Jurnalistik di Kantor Dewan Pimpinan Wilayah Riau, Partai Nasdem, Wahyudi membeberkan pengalaman empirisnya hingga menjadi wartawan profesional di Majalah FORUM Keadilan, Jakarta di penghujung era Orde Baru.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Acara yang berlangsung satu hari penuh itu menampilkan empat pembicara: Wakil Ketua Bidang Pemuda & Olahraga, DPW Nasdem Riau, Dastrayani Bibra, Sekretaris Jenderal, Persatuan Wartawan Indonesia(PWI) Pusat, Zulmansyah Sekedang, Jurnalis Metro TV, Fitra Asrirama & Direktur Utama Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC), Wahyudi El Panggabean.
“Inti dari tugas jurnalisme itu: kejujuran. Sikap jujur itu lahir dari keberanian. Berani perduli, berani jujur dan berani belajar konsisten,” kata Wahyudi dihadapan 40 orang peserta yang juga mahasiswa, utusan 3 universitas di Riau.
Dengan bahasa retoris dan memukau, Wahyudi mengatakan ketiga syarat dasar itulah yang akan mengantar seorang wartawan pada level kompeten & profesional.
“Ketiga syarat itu pula yang saya lakoni dalam tugas jurnalistik semenjak saya menjadikan wartawan sebagai profesi penggilan hati di tahun 1985 silam,” ungkap Wahyudi.
Wahyudi menjelaskan prosesi yang mesti dijalani seseorang yang ingin meraih predikat wartawan profesional dan berintegritas.
“Ilmu jurnalis terbaik diperoleh dari pengalaman lapangan,” kata penulis buku-buku tentang jurnalistik itu.
Menurut Wahyudi, Undang Undang No. 40 Tahun 1999, memberi kewenangan eksklusif bagi seorang wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Tetapi, kewenangan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan publik tentang informasi itu, jelasnya, praktis tak bermanfaat tanpa kemampuan wartawan mengapresiasi kewenangan itu.
“Makanya, saya mengatakan jurnalisme tidak hanya butuh, keberanian, kepedulian dan kejujuran. Juga kecerdasan. Wartawan jangan berhenti belajar,” tegas Wahyudi.
“Yang tidak terbantahkan adalah jika ditekuni secara serius, dijalani sepenuh hati, wartawan masih merupakan salah satu jembatan emas untuk meraih sukses. Percayalah!” kata Hakim Ethik Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Pekanbaru itu.
Kesejahteraan Wartawan.Jika seorang wartawan, kata Wahyudi telah memiliki kompetensi, dia hanya bersedia bekerja di perusahaan pers profesional dengan besaran gaji & honorarium yang dinilainya layak dia terima.
“Jadi, soal penentu utama, tentang kesejahteraan, ada pada skill jurnalisme yang dipunyai si Wartawan,” kata Tokoh Pers itu.
Sebab, menurut Wahyudi, Pasal 10 Undang Undang No. 40 Tahun 1999 sudah jelas menginstruksikan agar Perusahaan Pers memberi kesejahteraan kepada wartawan dan karyawannya, berupa gaji,
honor atau bagi hasil laba.
Lantas, wartawan yang tidak menerima gaji atau honor yang layak dari perusahaan pers tempatnya bekerja, demikian Wahyudi, berarti institusi pers itulah yang diduga melanggar undang-undang.
Tetapi, lanjut Wahyudi masalah kesejahteraan di era kemerdekaan pers ini tidak saja bagai sekeping koin. Malah kian pelik karena, cenderung sudah membentuk “lingkaran setan”.
“Dari sisi lain, alibi yang sering mengemuka justru keengganan perusahaan menggaji wartawan, karena masih minimnya skill jurnalisme si wartawan itu,” tegas Wahyudi.
Penulis : Red-Tim
Editor : Admin LM
Sumber Berita: Liputan Madura