Liputanmadura.com (Riau) – Direktur Lembaga Anti Korupsi Riau (LAKR), yang juga Advokat Senior, Armilis Ramaini, S.H., mengatakan, ibarat penyakit kanker, saat ini, tingkat keparahan korupsi di Riau nyaris mencapai Stadium-4. Budaya korup ini tumbuh subur dari imbas money politics (politik uang) di setiap Pilkada.
Ironisnya, lanjut Armilis, dalam situasi yang membuat perekonomian masyarakat terasa “gamang” itu, APH di daerah, yang diharapkan membasminya. Malah, ikut terseret arus deras budaya korup.
“APH yang seharusnya bertindak, malah, jadi: ‘Tukang pancing’ yang dilarikan pancing. Bukan justru berhasil menjerat ‘ikan’- pancingannya,” kata Armilis.
Menjadi hal mendesak katanya, untuk meminta Aparat Penegak Hukum khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, & Mabes Polri untuk serius menyikapi maraknya tindakan korupsi di Riau.
Imbauan itu disampaikan Armilis menjawab pertanyaan sejumlah Pemimpin Redaksi Media Berita, di Pekanbaru, Senin (19/5).
Diketahui, Armilis baru-baru ini, mendeklarasikan LAKR yang didirikannya sebagai sarana kontribusinya dalam menebar misi, memerangi koronisme: budaya korup di Bumi Lancang Kuning.
Menurut analisa Armilis, jika diibaratkan penyakit kanker, tingkat keparahan korupsi di Riau sudah di atas Stadium-3,5.
Memang dalam istilah kedokteran kata Armilis, tidak dikenal istilah Stadium: 3,5 untuk penyakit kanker. (Yang dikenal: Stadium: 1, 2, 3 & Stadium-4 merupakan tingkat terparah-Red).
Lantas, Advokat Senior ini, mengemukakan illustrasi yang ironis. Jika memakai istilah kanker, katanya_kondisi keparahan penyakit korup di Riau ini nyaris menyamai kanker Stadium-4.
Armilis memberi contoh prosesi penyelidikan kasus dugaan korupsi SPPD Fiktif Setwan DPRD Riau oleh Polda Riau. Sampai kini, tidak jelas. “Ini yang saya sebut: APH dilarikan pancing,” tegasnya.
Padahal, nilai dugaan korupsi SPPD Fiktif Setwan DPRD Riau itu, demikian Armilis, setara dengan dana yang dibutuhkan untuk membangun 5 sekolah unggul. “Ini baru satu kasus. Ngeri!” katanya.
Mengingat banyaknya, laporan kasus dugaan korupsi yang saat ini mandeg di tangan APH di daerah, Armilis mengulangi imbauannya kepada APH dari “pusat” agar terpanggil untuk bertindak lebih progresif dalam pemberantasan koronisme korupsi di Riau.
Masalahnya, APH di Riau, kata Armilis, lebih tertarik menangani kasus-kasus kecil yang dipaksakan sebagai kasus grativikasi sebagai syarat formal kerja semata, sementara kasus besar didiamkan.
“Saya punya pengalaman tentang pemaksaan proses hukum atas kasus-kasus receh ini di tengah ketidakberdayaan APH mengungkap kasus korupsi besar,” tegasnya.
Jika ditelaah saksama, kata Armilis, titik awal pertumbuhan bibit korupsi di Riau adalah saat tindakan money politic di setiap pesta Pemilihan Kepala Daerah.
“Pemimpin bermental korup lahir dari rahim demokrasi yang dinodai. Tindakan inilah kemudian yang menjadi awal konsekuensi yang panjang dalam mata rantai budaya korupsi di negeri ini,” katanya.
Untuk itu, Armilis berharap kepada pers yang masih memiliki integritas dan keberanian, terus mengontrol roda pemerintahan di Riau. Kemudian, tidak mudah tertipu oleh dialektika kepemimpinan halusinatif, yang berbasis validasi dan pencitraan.
Warga Riau, katanya perlu waspada dengan gaya kepemimpinan yang seolah-olah mebela urusan tetek bengek warga, tetapi kenyataannya, korupsi skala besar tetap merajalela.
“Para pemimpin korup tengah mempertontonkan pola kepedulian manipulatif kepada masyarakat, dengan memakai tekonolgi media sebagai sarana pembohongan. Hati-hati!” tandasnya.